Sabtu, 13 Maret 2010

Meditasi a la Tertawa Bersama Gus Dur

Photobucket

Apalah makna indah dunia jika tak ada tawa. Serius, coba bayangkan dunia tanpa senyum terkembang di pipi umat manusia.

Maka berterimakasihlah kepada orang-orang yang selalu menyegarkan dunia dengan bahasa tubuh dan sahutan ucapan yang membuat kita tertawa. Some peeps says, by laughing, anda akan terasa awet muda! Bahkan juga bisa disebut sebagai salah satu bentuk meditasi. So, you don't have to go to the cave, or else.

Maka hadirlah buku ini! hahaha ya ya ya, ini memang buku dari kantor saya. Tapi terlepas itu semua, buku yang mengompilasi guyonan Gus Dur ini bisa menjadi buku layak dibaca. Plus komik dan seratusan lebih guyonan Gus Dur, dari yang paling jayus, hingga yang paling bikin ngakak!

Terlepas kontroversi yang kerap mengelilingi tindak tanduk dan ucapannya, Gus Dur berjasa telah membuat negeri ini tetap sehat ditengah carut-marut. Yah, lumayan agak sehat dan sedikit waras, berkat guyonannya.

Presiden ajaib yang bisa bikin nyengir para pemimpin dunia di sebuah pertemuan internasional dengan me'lelucon'kan dirinya sendiri dan wakilnya. Bikin anggota parlemen yang berkantor AC pun merasa gerah akibat diledek sekumpulan bocah TK yang berisik.

Dibesarkan di kultur pesantren, guyonan Gus Dur sebuah mosaik unik dalam kehidupan bangsa ini. Sering blak-blakan, guyonannya sebuah refleksi atas berbagai hal dan peristiwa.

Seperti Nasruddin Hoja dan Abu Nawas, humor Gus Dur tak hanya membuat orang tertawa, tetapi juga merenungi betapa kegetiran dunia ternyata bisa diselesaikan dengan humor ala sufi yang kritis.

Buku ini tak sekadar koleksi guyon, tetapi juga menawarkan pesan 'sufi' atas segala hal. Dunia bisa ditertawakan kok. Dan semua orang bisa tersenyum bebas, apapun niat dan alasannya. Dan kita pun selalu sehat jasmani dan rohani! Tapi tetap tahu adat istiadat kan? :P

"Seorang Pendeta Hindu, seorang Pastor Katolik dan seorang Kiai Islam, memperdebatkan tentang siapa di antara mereka yang paling dekat dengan Tuhan.
“Kami!” ujar Pandita Hindu. “Kami memanggil Dia Om, seperti kami menyebut paman kami”, jawab Pandita Hindu sambil merapatkan kedua tangan di dada. “Om, shanti, shanti, Om.”
“Kalau begitu, kamilah yang jelas lebih dekat kepada Tuhan!” ujar pendeta Katolik, “Kami memanggil Dia 'Bapa'. Bapa kami yang ada di Surga.”
Kyai terdiam. “Hm . . . ”, sang Kyai merenung, “sebenarnya kalau kami ingin memanggilnya, kami tinggal berteriak saja dari menara mesjid . . . .”

Rp19.000
at any bookstores!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar