Rabu, 31 Maret 2010

Cerpen Nomor Dua Seumur Hidup - Sendok Terakhir













Siluet dari percak mosaik itu berumur dua setengah tahun. Selama itu ia menempeli dinding di kamar pribadinya, sekenanya saja. Tangannya mengepal, kedua mata sayunya menyusuri setiap baris mosaik yang telah teratur rapi berdasarkan hari dan tanggal, dan tahun. Dan harus terhenti.

“Dimana?”

[]

Sebuah sendok yang selalu tersimpan di laci meja kayu bermotif floral di pojok kamarnya memiliki sebuah cerita yang menusuk hatinya. Sendok biasa lazimnya terdapat di sudut dapur, perak abu-abu lusuh.

Dari sendok itu ia selalu mengasupi hatinya. Sendok itu merawat setiap detak hatinya agar seiring dengan akalnya. Setiap asupan berisi sekelumit kejadian-kejadian yang ia lalui tanpa komentar apapun. Setiap asupan selalu diiringi lagu-lagu kesukaannya, semacam the soundtrack of his life, dari netbooknya.

Seperti hari-hari biasanya ia memberi asupan kembali kepada hatinya. Dan seperti biasanya pula, ia menjawab setiap pertanyaan dari hatinya. Kali ini, Maxwell membisiki relung benaknya,

(“Lead me on girl if you must, Take my heart and my love”)

“seberapa besarkah ikhtiarmu padaku?”

“kenapa?”

“just asking’”

Ia terdiam sejenak, mereka seberapa luas niatnya selama ini. Namun ia tetap mengasupi hatinya dengan sendok lusuhnya, kali ini dengan harum rona senyum dan tawa. (“N' if ever you yearn for the love in me”)

“bisakah rasa itu luruh”

Ia tetap menyuapi hatinya dengan berbagai rona yang ia siapkan tanpa komentar apapun.

“jawab aku” Ia bereaksi semampunya. “kenapa harus luruh?”

“just asking”

[]

Terbangun dari lelapnya, ia meraba kulit yang membungkus hatinya. Hatinya kembali berucap tak seperti biasanya.

“Andai sendok itu terbuat dari air, bisakah meluruhkan aku?”

“kenapa harus luruh?”

Benaknya kembali berputar kesana kemari mencerna ucapan yang nyaris membuatnya harus mengingat kembali hari-hari sebelum dua setengah tahun lalu. Saat ketika dirinya melepuh tanpa arti tanpa sebuah hati.

“aku mengasupimu dengan baik, bukan?”

“asupanmu terlalu sempurna”

“dan kau tak perlu luruh..”

“just asking”

[]

Esoknya, ia kembali mengambil sendok tuanya kembali. Namun ia justru tak menemui hatinya dibalik kulit dadanya yang tertanam secara magis. Meninggalkan secarik goresan di relung ruang hatinya, tertulis,

“Aku terpaksa harus meluruhkan diri”

Kini giliran Bob Mould yang membisiki relung benaknya, (“Now he's hardly getting over it
Hardly getting used to getting by”)

Mata sayunya pun terpekur menatap mosaik tertempel di dindingnya. Sendok tuanya menetes di sela-sela jarinya.

(satu lagi cerpen nomor dua hasil pelatihan menulis bebas di kantor. Cukup memeras energi ketika membuatnya...ahh, whatever, but i found out that writings can heals our (my) problematic life ha ha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar