Jumat, 27 Agustus 2010

Lost in Bali: Along Ngurah Rai Till Karangasem (Part 1)




The fantastic of Being lost in Bali, oh, what a line.
Tersesat di sebuah dunia begitu asing dan mistis, tanpa peta untuk memandu arah, apalagi sebuah handset canggih beraplikasi GPS, hanya bermodalkan henpon murah. Itulah yang saya alami selama dua hari itu, Jumat dan Sabtu kemarin, saat menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di pulau Dewata, Bali, gosh... a heavenly island!

Ohya, satu hal paling saya sesali adalah tak membawa kameraaaaa....arggghhhhh!!! maka, berbekal sedikit poto dari beberapa orang di Bali yang saya minta pinjem kameranya, demi membuktikan kalau 'I WAS THERE', mungkin ceceritaan blog ini bisa menghibur, dan kalau berpikir saya melakukan kebohongan publik, mari saya ladeni argumen-argumen anda hahaha

So, tradisi dan budaya yang ada di Bali, melengkapi keindahan alamnya. Satu hal yang sulit ditemui di tempat manapun di dunia. Bali itu memiliki keindahan yang begitu misterius dan mistis, setidaknya itu yang saya rasakan selama disana. Pulau yang cantik.

Pada tanggal 18 Juni 2010, bermisikan sebuah tugas rahasia dari kantor untuk mengejar sebuah tema buku yang menjanjikan, saya akhirnya terbang via burung besi Air Asia dari bandara Soekarno Hatta, tepat jam 06.30 pagi. Serunya, meski menurut saya mungkin hanya saya yang kelewat riang, ini akan menjadi perjalanan via udara pertama untuk saya ha-ha-ha.

Sesampai di bandara, saya menanti sejak jam 5 pagi sambil menikmati terminal 3 yang begitu megah dan modern, mirip di bandara-bandara di luar negeri yang nongol di film-film barat.

Si burung besi pun memanggil para penumpang setelah meminum avtur, tepat pukul 6.30. Senyum tak henti-hentinya karena tak sabar menaikinya, penasaran seperti apa rasanya. Norak yah ha-ha-ha. Well, who care, pokoknya enjoy the flight dan here i come, Bali! (ternyata enak euy di kapal terbang :P hi-hi-hi)

Selama satu jam empat puluh menit perjalanan, akhirnya si burung besi melandaskan ketiga rodanya di aspal Ngurah Rai, di pagi yang cerah indah. Sesekali menjelang pendaratan saya bisa melihat barisan tipis gelombang buih kecil ombak yang menghampiri pepantaian di sekitar bandara. Betul-betul pemandangan yang cantik sekali. Lautnya indah sekali. Ini bakal menjadi perjalanan yang seru.

Turun dari pesawat, senyum di wajah kembali tersungging, sambil bergumam kecil, Subhanallah, i'm in Bali! Saya melangkahkan kaki ke bandara internasional Ngurah Rai yang mungil untuk sebuah pulau wisata terbaik di Asia Pasifik menurut DestinAsian Readers' Choice Awards 2009, beating Hawaii? Cool.

Di kantin bandara, saya buka netbook cek pesan kantor dan melapor ke atasan bahwa saya sehat wal afiat tanpa satu cela apapun selama di perjalanan. Alhamdulilah. Waktu beranjak jam 9.30, saya berpikir cara ke wilayah Karangasem. Namun minim informasi, bikin saya ketar-ketir, saya kebingungan harus kemana.


But thank God, penulis yang ingin saya temui di Bali ternyata menelepon saya dan mengajak bertemu di kantor berita Antara. Dan akhirnya teringat pula salah satu teman saya dari Jakarta yang kini menetap di Bali karena membuka usaha tattoo di Seminyak. Sedikit lega lah.

Penulis Bali itu menyarankan saya untuk naik taksi Blue Bird, demi menghindari taksi ber-argo nembak. Sepanjang jalan menuju Antara, saya melihat wajah suasana kota pariwisata Bali sepanjang Kuta hingga Denpasar. Kental sekali dengan tradisi religiusnya, terlihat dari arsitektur dan setiap tempat persembahan di tiap rumah dan kantor.

Sampai di Antara, berbincang sana-sini dengan mbak Vivi, si penulis Bali dan suaminya, orang Antara Bali. Disana saya mencicipi sop buah a la Bali, mirip sop buah seperti biasanya di Jakarta. Hanya saja display buah-buahannya seabreg, satu buah pepaya, nanas, melon, semangka ukuran besar.

Berbagi cerita tentang misi rahasia saya, mbak Vivi membantu mencarikan tukang ojek untuk mengantarkan saya ke Karangasem. Ketimbang sewa mobil, dengan naik motor akan lebih cepat sampai. Bayangan jarak antara Denpasar dan Karangasem dijelaskan kepada saya, pokoknya jauh dan memakan sekitar 2 jam lah. Hemm..tak apa lah, tak terlalu lama. Sekalian menikmati alam Bali selama perjalanan nanti menjadi bonus yang seru.

Sang tukang ojek, pak Wayan, telah hadir untuk mengantarkan saya ke tempat tujuan. Sepakat pada tarif PP, kami pun melaju ke Karangasem selepas shalat Jumat di perkampungan Jawa, dekat kantor Antara.

Dari Denpasar, motor Honda Supra Fit yang tampak kurang fit mengarah ke Sanur, dan kemudian ke arah kiri menuju bypass ke arah Karangasem. Sepanjang perjalanan cukup lancar, meski harus melintasi jalan aspal yang tak mulus karena beberapa ruas jalan masih dalam perbaikan besar-besaran. Namun pemandangan lautan diujung mata sudah bikin saya terpesona meski debu aspal menerpa wajah.














Marka jalan menunjukkan 66 km menuju Karangasem. Si Supra Fit pun terus melaju membawa saya melalui jalan raya yang cukup sepi dan seperti tak berujung. Hingga sampai saya melewati deretan dua bukit hijau dimana Kecamatan Karangasem bersembunyi.

Meliuk-liuk ruas jalan melewati perbukitan, mirip perjalanan ke Garut saja. Pantat pun mulai sedikit pegal. Namun tak ada kata berhenti sebelum sampai di tempat tujuan. Pemandangan kanan kiri dengan bukit hijau, sawah bersistem irigasi sengkedan, dan beberapa pusat sembayang yang unik memuaskan hati saya.

Kami melewati beberapa banjar, dan kelurahan dari Karangasem, seingat saya salah satunya Amlapura. Kanan kiri sawah dan hehijauan bukit, pura dan sebagainya. Sempat terkena macet setelah tiba-tiba dari sebuah gang berlarian ratusan warga mengusung sesajian menuju pura, dan oh..mereka sedang mengikuti upacara keagamaan.

Lumayan pegal luar dalam, akhirnya motor berjalan dan sampai ke tempat tujuan, yakni rumah gadis miskin Bali juara foto di Belanda, Ni Wayan yang ternyata oh ternyata jauhhhnyaaa...seperti dari pintu tol Pasteur ampe ke rest area di Cikampek.















Beruntung, saya masih bisa menikmati keindahan pantai Karangasem, debur ombak dan semilir laut selat antara Bali dan Lombok yang sejuk. Obrol sejenak dengan keluarga, segera saya melanjutkan perjalanan yang mulai menyiksa kembali ke Denpasar sebelum senja menjelang. Menembus kegelapan pesisir pantai timur Bali...dan proyek jalan bypass yang belum kelar.

Dan itu betul-betul melelahkan...hingga akhirnya saya terkulai di pasir putih pantai Kuta, di malam hari berbulan tak sempurna, bersama teman saya, Ipung Cuomo si pengusaha tattoo itu, mendengar debur ombak yang syahdu menghapus keletihan hati dan badan (tepatnya pantat). Bodohnya, momen tersebut lagi-lagi tak bisa diabadikan karena saya tak membawa kamera...darn.

(to be continued)