Selasa, 27 April 2010

Fighting 31!




















Uhmm...31. Angka keramat bagi saya hahaha a week ago, i had surpassed the first year of my thirties, and gosh..i'm getting old hahaha but the youth spirit still alive, amigos! I promise u that!

Tetap saja selama 31 tahun menghirup oksigen, serta memperlakukan dunia sesuka hati. Betapa hidup ini cepat sekali berlalu, dan kerap sesal hadir saat melihat masa lalu.

Being a 31 old crack, seems like to be an adventure to me, tho i kinda, let say, there will be lots of demands for me, to get settle and create your own family line. Haih.. yah, hidup dijalani saja, tinggal dinantikan kejutan-kejutan yang menyapa selama perjalanan.

So, happy birthday to me, and everyone whom has the same age, keep positive, a fighting 31!

Cheers!

Goodbye, my precious guitar..

Photobucket

Jika seorang penulis bersenjatakan pena, maka gitar adalah pena bagi sang gitaris. Keduanya melahirkan sebuah ekspresi yang sama dari keliaran benak mereka, namun dalam bentuk berbeda. Sang penulis menyulap goresan tinta menjadi rangkaian aksara penuh makna, sementara sang pendawai senar menciptakan resonansi nada dari tiap petikan yang bermakna pula. Keduanya sama-sama ekspresif, namun beda wujud.

Ya ya ya berat bener paragraf diatas meski patut dipertanyakan kebenarannya hahaha selanjutnya sebebas saya sajalah. Dan tema kali ini ketika saya harus berpisah dengan gitar kesayangan saya, gitar listrik pertama, yang telah menemani hari-hari saya yang cenderung kurang ekspresif dan datar saja. Ahh..betapa indah delapan tahun saya bersama gitar listrik hollow body berwarna sunburst ini.

Sejak pertama membelinya, saya sudah ngebet banget ingin memiliki sebuah gitar listrik yang mirip gitar-gitarnya Noel Galagher dari Oasis. Pokoknya yang bergaya hollowbody dan classy. Ketika memilikinya betul-betul bikin percaya diri banget. Tak sabar memainkannya di atas panggung dan merasakan sensasinya seorang gitaris beneran.

Selain menemani hari-hari ngeband, gitar ini sebenarnya berjasa banget mengasah naluri saya untuk lebih sentimentil dengan segala hal. Khususnya masalah percintaan hahaha its true, everytime i fell or trashed in love, gitar ini membantu membenahi nalar dan emosi saya dengan wajar. Seperti sebuah obat hati yang tidak memaksa kita untuk menghapus total memori buruk itu, tetapi mengajarkan untuk mengendalikannya dengan tenang dan teduh.

Resepnya, create songs! Dan ketika lagu-lagu itu lahir dari benak kita, percayalah betapa polosnya perasaan kita saat mendengarkannya. Setiap nada galau atau teduh yang dipetik, saat remuk redam, atau nada-nada riang dan cozy ketika melayang tinggi ke langit ketujuh. Seperti para penulis yang di setiap goresan tinta tentu digerakkan oleh benaknya, pasti menuangkannya sebuah tulisan yang memiliki jejak-jejak unik dari perasaannya.

Same as the writers, create writings. Seperti ketika saya begitu menikmati betapa asyiknya menulis cerpen pendek. Segala angin ribut paling kejam sekalipun di hati siapapun bisa tertampung dalam sebuah tulisan. Dan, segalanya justru membaik dan berhasil membuat diri kita untuk move on dari kekisruhan tersebut.

Itulah yang juga terjadi dengan gitar saya, ia telah menjadi wahana keluh kesah yang lebih sensitif ketika saya ingin berbagi. Saya bisa memetik sebuah kunci riff favorit saya, dan ia membiarkan saya untuk menjelajahi setiap fret sesukan hati. Hingga semuanya tersapu oleh deras resonansi nada dari keenam senar yang kerap karatan jika jarang dimainkan.

Dan gitar ini telah berpisah dari hidup saya. Jujur sedikit menyesal untuk melakukannya, namun satu hal yang memang terpaksa membuat saya untuk melepaskannya. But I had no choice. Ia kini telah berpindahtangan dengan seseorang yang pasti dengan impresi yang berbeda terhadap sebuah gitar.

Selamat tinggal gitar listrikku, thank you for the 8 years memories...i miss you already.

Minggu, 04 April 2010

Dara Puspita, Empat Dara di Negeri Eropa





















The Beatles mengguncang dunia di era 1960-an, menandai sebuah revolusi musik dunia. Begitu luar biasanya pengaruh dari band empat pria dari Liverpool ini kepada generasi muda di seluruh dunia, melahirkan sebuah letupan budaya antar generasi.

Fragmen revolusi musik dunia ini pun mendarat hingga ke Indonesia. Sebut saja grup musik lawas tanah air seperti Koes Bersaudara, The Rollies atau Eka Sapta, menjadi sebuah antusiasme anak muda di tanah air ketika itu terhadap revolusi musik dunia. Tak jarang para anak muda ini harus berurusan dengan pemerintah Soekarno yang anti musik barat, dan berujung pada sel tahanan.

Band-band diatas memang meraih popularitas di kalangan anak muda saat itu. Namun tak ada yang bisa menyaingi sebuah band yang terdiri dari empat gadis asal Surabaya. Ditemukan oleh personil Koes Bersaudara, band bernama Dara Puspita itu menjadi band pertama di Indonesia yang melakukan tur Eropa selama 3,5 tahun lamanya.

Pamor Dara Puspita bahkan menandingi ketenaran Koes Plus. Begitulah kata Pak Handi, atau lebih dikenal dengan nama alias Mbah Gambreng, sound engineer atau penata suara Koes Plus yang pernah menemani Dara Puspita berkelana di Eropa. Selama 3,5 tahun, pria sepuh ini mengawal Dara Puspita ke berbagai negara di Eropa, mulai dari Hungaria, Jerman, Perancis, Belanda, hingga Inggris, kiblat musik dunia ketika itu.

Band yang terdiri dari Titiek Hamzah, Lies A.R, Suzie Nader, dan Titik A.R ini telah menelurkan lagu-lagu terkenal seperti Surabaya (dijadikan lagu resmi kota Surabaya), Lagu Rindu, Pantai Pattaya, dan A Go Go. Meski permainan musik mereka biasa-biasa saja, aksi panggung Dara Puspita selalu atraktif dan heboh. Mereka sering jingkrakan sambil meraungkan alat musik mereka, sampai-sampai lirik lagunya pun tak terdengar. Dan itu disukai para anak muda saat itu.

Seorang impresario dari Jerman, Wilhelm Butz, mengikat kontrak mereka untuk tampil di Eropa. Berita ini menggemparkan para insan musik di tanah air, termasuk Tony Koeswoyo dari Koes Bersaudara. “Dik Han,.... iki bedes-bedes soyo hebat wae, arep tour menyang Eropah … (ini monyet-monyet betina makin hebat saja, mau tour ke Eropa),” kisah Mbah Gambreng.

Siapa kira empat gadis asal kota Surabaya ini akan berpetualang di Eropa, sebuah mimpi yang selalu diidam-idamkan setiap anak band kala itu. Total 250 pertunjukan di 70 kota besar dan kecil di pelosok Eropa telah mereka lalui.

Petualangan keempat dara muda ke berbagai negara Eropa ditemani oleh Mbah Gambreng. Dirinya sendiri baru mulai diminta menangani Dara Puspita sebagai penata suara pada beberapa bulan pertama setelah band ini berada di Eropa. “Saya baru menyusul belakangan untuk menggantikan manajernya yang sedang sakit dan kurang paham alat-alat musik,” jelas ayah dari tiga anak ini.

Sebelum Tur Eropa Dara Puspita beraksi di Iran. Bahkan seorang pangeran dari Shah Iran langsung menjadi penggemar berat band ini. “Pangeran itu selalu minta lagu Dara Puspita berjudul Burung Kakatua dimainkan berulang kali,” ingatnya.

Tur Benua Biru pun berlanjut dari Eropa Timur, tepatnya di Hungaria. Sebuah sirkus ternama menjadi arena panggung Dara Puspita untuk menampilkan aksi terbaik mereka. Kehadiran mereka sebagai gadis Asia yang bermain musik rock penuh atraksi menjadi buah bibir di negeri tersebut.

Dara Puspita bahkan beruntung bisa tampil pada konser musik di Buiten Sociteit Zwolle tanggal 23 April 1971, dimana mereka menggantikan sebuah group terkenal yang membatalkan kontrak di saat terakhir. Tak disangka sambutan luar biasa dari penonton dan publisitas media lokal begitu besar kepada mereka.

Petualangan mereka di Eropa pun tak selalu berujung manis. Mereka harus memulai dari bawah dan berstatus band amatir, tak seperti di Indonesia. Berkeliling ke beberapa negara Eropa dengan menyewa sebuah mobil van tua yang dibagian belakangnya sudah disesaki alat-alat musik. “Bahkan buat urusan makan betul-betul cekak, sampai harus mancing di sungai dan membeli jeroan di pasar daging,” ingatnya lagi.

Belum lagi ketika band ini sempat dikibuli seorang impressario dari Inggris, yang menawari mereka kesuksesan di negeri The Beatles. Nekat memutuskan kontrak dengan Butz, Dara Puspita malah mendapati sebagai kesalahan terbesar. “Ternyata sulit sekali hanya untuk manggung saja di Inggris,” ujarnya.

Tiga setengah tahun wara-wiri di Eropa pun membawa kejenuhan kepada para personil Dara Puspita. Naluri mereka sebagai seorang wanita yang dituntut keluarganya untuk menikah membuat kiprah mereka harus tertahan. Mbah Gambreng pun merasakan betapa pusingnya dirinya menghadapi band empat gadis ini. “Bikin pusing deh, mulai dari putus cinta sampai kangen dengan tanah air,” katanya.

Akhirnya Dara Puspita mudik ke tanah air pada 3 Desember 1971. Kepulangan mereka ke tanah air pun layaknya super group dimana ribuan penggemar telah memadati landasan bandara udara Kemayoran di Jakarta. Semua media menanti berita apa yang akan dibagikan oleh Dara Puspita kepada publik.

Sayangnya, berita band ini akan bubar justru lebih santer terdengar di media. Dua personilnya harus menikah, dan lainnya memilih untuk membubarkan diri dan membentuk band baru dengan nama berbeda. Setidaknya, Dara Puspita telah menggoreskan tinta emas di sejarah musik tanah air ketika empat gadis nekat berkelana di negeri antah berantah. Di Eropa pula!

Jika merasa asing atau belum pernah mendengar lagu-lagu mereka, nikmatilah salah satu lagu mereka di blog ini, dan selamat ber-a go go!