Sabtu, 12 Februari 2011

Lincensed to Vinyl, Oh My...
















Dahulu saya pernah berjanji, tak akan menyentuh dunia vinyl atau plat hitam, dan tetap berkutat pada koleksi CD musik saja. Alasannya, yah saya tak mau kalap saja, mengingat sensasi vinyl memang agak berbahaya pada nilai akhir buku tabungan saya, dan melihat teman-teman saya yang lebih dulu menikmati plat hitam sudah menjadi hiburan tersendiri mendengar bagaimana kisah mereka berburu koleksi mereka.

Beruntungnya, ketika itu belum ada tempat yang menjual vinyl secara berdikari. Umumnya dari para kolektor dan juga juragan kaskuser. Memang ada sih, seperti para pedagang Jalan Surabaya, namun didominasi plat-plat jadul dari warisan para penduduk lawas ibukota, dan tak termasuk selera musik saya.

Sampai pada akhirnya, kehadiran sebuah toko bernama Monka, berada di pojokan dalam toko buku Aksara, Kemang, akhirnya merubah segalanya. Berawal dari info di facebook, saya cukup terhenyak dengan munculnya toko ini. Saya salut dengan para anak muda yang menjadi pendirinya. Sebuah toko khusus plat hitam, di Indonesia, wow.

Tergelitik melihat jualannya, pada hari pertama, saya langsung menyambangi TKP dan langsung terpana. Terpana tak hanya melihat teman lama menjadi CS-nya toko itu, tetapi juga menyaksikan deretan plat-plat hitam dari band-band idola saya. Pavement, Dinosaur jr., The Smiths, hingga Sonic Youth.

Euforia saya tertuju pada dua vinyl Pavement (edisi low price) dari dua album pertama mereka. Pandangan pertama langsung dari hati terdalam, dan begitu mudahnya keputusan membeli dua benda ini, melupakan janji pramuka. Saya lalu membawanya keluar toko, mengantarnya ke rumah, dan memandang mereka sambil mendengarkan salah satu koleksi cd Pavement di tape cd.



Hari-hari saya langsung berubah (maksudnya sebagai seorang kolektor yah, bukan sebagai manusia :P). Berburu cd tetap berjalan, kini turut merambahi vinyl. Pusingnya, saya sampai harus mengkonversi beberapa koleksi cd agar bisa membeli vinyl di Monka. Dalam sebulan sejak berdiri Monka, plat hitam bertambah lagi, dua single Asobi Seksu, album kedua Serena Maneesh dan kompilasi dari Black Tambourine.

Pikiran saya sudah wanta-wanti, hati-hati jangan kalap. Namun hati terus bergetar setiap kali melihat sesuatu yang baru di tempat itu atau di internet. Ahh..betapa beratnya dan dilematis untuk menjaga stabilitas finansial dengan sesuatu yang kita gemari. Pastinya strategi finansial cadangan terus berputar dibenak saya akhir-akhir ini. Tak lain konversi dan ikat pinggang sekencang-kencangnya.

So, niat saya, setiap satu bulan, satu vinyl atau plat hitam. Insya Allah..

....dan beberapa saat lalu, dua vinyl Swervedriver, album Raise dan Mezcal Head, telah terorder dari internet. Saya pikir, untuk 3 bulan kedepan, stop belanja lagi. Huaaa..

Jumat, 31 Desember 2010

Leaving a Memories

Hidup selalu ada awal dan akhir. Tergantung bagaimana mengawali dan mengakhirinya dengan caranya sendiri. Apakah itu manis, pahit, atau hambar. Orang-orang sekitar hanya mengamatinya dan memutuskan apakah pergi sambil berlalu saja, menertawakannya, menangisinya, atau mengemas kesan terdalam di hati mereka, hanya untuk mereka saja dan bukan dibagi kepada siapapun.

Suatu ketika, dua rekan kantor telah pamit. Satu setengah tahun. Tak ada tangis, bahkan kehambaran. Justru gelak tawa dan hangat meronai setiap kesan-kesan. Mereka sebenarnya tak benar-benar menghilang seperti buih air laut.

Dan hidup ternyata tak pernah berakhir seperti sebuah skenario sinema. Karena memori selalu melatari dan melanjutkan jejak hidup. Manis, pahit, atau hambar. Terserah kita (saya).

Senin, 25 Oktober 2010

a Poem for The Slightest





















Between noises and delays, it's your texture
Stand still, blanketed in darkness allure
Silenced and shadowed, consumed and mesmerized
The weakest lover

How the beauty of yours kills senses
Who wouldn't stand inside your premature skies
Who wouldn't ran from every sights of yours
The texture of hollow


Sabtu, 09 Oktober 2010

Furious October on Smashing Pumpkins and Lightning Seeds


Bulan Oktober 2010 seharusnya menjadi bulan terindah bagi saya. Bayangkan dua band legendaris yang saya begitu idam-idamkan sejak lama, yakni Lightning Seeds dan Smashing Pumpkins siap beraksi secara live di Jakarta! Terbayang nostalgia indah bakal saya alami selama menonton konser dua band ini yang hanya selang semingguan saja.

Tapi tak selamanya bayangan indah itu bisa menjadi kenyataan yang indah pula.

Dus, tiket terbeli, pre-sale, via online dan beli di toko musik dibilangan Pondok Indah. Tanggal 2 Oktober, Lightning Seeds menjadi salah satu penampil utama di Embassy Playground, kompleks GBK Senayan.

Saya sampai di gerbang Senayan, jam 8 lebih, kok sayup-sayup terdengar.....lagu Lightning Seeds??? Arghh...ternyata mereka bermain lebih awal dari dugaan saya. Buru-buru parkir motor, dan berlari ke pintu masuk acara. Ups, ternyata saya harus tuker dengan tiket asli di booth. Heh?

Oke..saya tukar, ternyata mengular panjang antreannya. Terpikir ini mungkin yang beli ditempat, saya ke salah satu booth. Ups! ternyata salah, ini untuk tuker undangan, dan yang antri kayak ular naga itulah yang harus disambangi, Heh?? Baiklah, meski Lightning Seeds sudah naik panggung dengan beberapa lagu dan saya harus kena birokrasi tiket yang aneh.

Ketimbang antri dari belakang, saya pepet di depan. Beberapa orang tampak rusuh dan marah-marah. Ternyata proses penukaran tiket oleh si rajanya karcis, begitu kacrut.

proses: kasih tanda bukti-diketik input-discan-dicek KTP-dikasih tiket

Gila! Sementara LS sudah main 6 lagu lebih, panitia tiket masih saja berkutat dengan proses itu. Semua orang menggila, termasuk saya! Teriak sumpah serapah, sampai akhirnya panitia memutuskan cukup tanda bukti, langsung dikasih tiket. WTF! Kenapa nggak dari awal? Apa gak bisa berkaca dari JRL yang sediakan 3 alat scan, dan langsung bisa validasi tiket?


Tiket pun didapat, langsung lari ke dalam sambil teriak sumpah serapah. Gak peduli sama penjaga, langsung lari ke tengah lapangan dimana LS sudah memainkan lebih dari 7 lagu. Meski gundah luar biasa, namun melihat Ian Broudie dan bandnya, cukup mengobati kekesalan. Alhamdulilah, lagu seperti Pure, Sugar Coated Iceberg, Life of Riley, dan Three Lions, bisa dinikmati. Saya pun berjoget indies hingga tuntas ha ha ha

Kekesalan pasca konser LS pun mereda beberapa hari kemudian. Maklum, seminggu kemudian, The Smashing Pumpkins bakal mengisi acara Javarockinland pada hari Jumat. Wow, Billy Corgan dan rekan mampir ke Jakarta, betul-betul tak terbayangkan sama sekali, thanks a lot Peter Gontha!!

So, bersama kompatriot saya, kami menyewa motor ojek pada hari Jumat agar bisa lebih cepat ke lokasi. Meski sore harinya Jakarta dibasahi hujan tiada henti, kami pun berangkat di antara tirai rintik-rintik gerimis. Sepanjang perjalanan kami terus berbincang setlist apa yang akan dibawakan mas Corgan (asa kami, 1979 dan beberapa lagu dari era Mellon Collie dan Siammese Dream)

Sesampai di lokasi acara, Festival Ancol, sekitar jam 9 malam, cek tiket untuk discan, dan kami bergegas ke main stage dan melihat Datarock beraksi. Penampilan yang seru dari mereka, begitu interaktif dan atraktif bersama penonton. Bahkan pemain saksofon sekaligus kibor mereka, stagediving diantara penonton. Saya cuma ingat satu lagu hits mereka, FAFAFA, dan terkejut ketika mereka membawakan lagu lawas dari film Dirty Dancing, Time of My Life!

Usai Datarock, kami pun beringsut mundur dan duduk di tepian jalan untuk menunggu persiapan Smashing Pumpkins di panggung. Setengah jam menanti, kami beranjak mendekati panggung yang sudah disemuti penonton. Jarak antara kami dan panggung sekitar 50 meteran lah, cukup dekat.

Sejam kemudian, munculah sang band idola, gemuruh teriakan penonton bergema. Tanpa babibu, lagu Today langsung dihajar! Arggghh, saya dan teman langsung menggila dan berloncatan bersama puluhan ribu penonton. Beberapa lagu lawas seperti Tonight Tonight, Stand Inside Your Love, sampai Bullet with Butterfly Wings. Nah, pas lagu terakhir ini, semua penonton menggila, moshing dan stagediving! Sicck!!!


Beberapa lagu baru dari album Zeitgist turut dimainkan, dan saya juga sedikit kurang mudeng, karena lebih akrab dengan album-album klasiknya. Sekitar sejam , selepas lagu terakhir (saya lupa yah..judulnya apa, mungkin lagu barunya), tiba-tiba Corgan cs ucap Thank You dan undur diri. Hemm..santai, bakal ada encore, dan saya pun teriak-teriak We Want More.

15 menit berlalu, sementara penonton yang berteriak encore tampak tak kompak, dan agak malas-malasan. Tiba-tiba kru langsung mengemasi peralatan di atas panggung. Walah...apa ini? Mungkin trik saja kali yah.. Ternyata tidak oh tidak! Smashing Pumpkins telah usai.

Arghhh! Sebagian besar penonton tampak kecewa, dan berteriak-teriak. Beberapa lainnya yang masih yakin acara tetap berlangsung, tak beranjak pergi dan berusaha berteriak memanggil Corgan cs. Alamak, ternyata betul-betul telah usai...lagu favorit saya seperti 1979, Perfect, atau Quiet, gagal didengar!

Nelangsa? Pastinya..Beberapa rumor berkembang kenapa tak ada encore, mulai dari si Corgan kabarnya bete karena lagu Indonesia Raya dinyanyiin sebagai pembuka Smashing Pumpkins, sehingga Corgan tiba-tiba memainkan Star Spangled Banner secara instrumental, sampai si basis bete karena dicium vokalis the Vines (yang ini pasti kabar tipu abis hahaha)

Yah, saya sih mencoba tetap bersyukur Corgan mau hadir di negeri ini, meski kesal saja dia pergi tanpa basa-basi. Saya cuma penasaran saja, ada apa ini! Karena saat kru mereka mempersiapkan panggung, saya melihat salah satu kru mempersiapkan gitar akustik di panggung...instrumen yang biasa dipakai Corgan untuk 1979 secara live.

Dugaan saya, pasti ada yang salah ketika saat Corgan cs pergi dari stage, teriakan para penonton untuk we want more tak kompak, seperti gak antusias, hanya penonton yang gila dengan Smashing Pumpkins rasanya yang teriak-teriak we want more...males-malesan? Mungkin saja gara-gara itu Corgan berubah pikiran? Who knows..

Dan sampai setengah jam, penonton pun sudah meninggalkan stage, dan beberapa puluh orang masih pada posisi yang sama, termasuk saya dan teman, berharap ada keajaiban. Ah...patah hatilah, aksi mereka sudah selesai dan beberapa kru mereka bahkan telah mematikan ampli-ampli rak Corgan dan Schroeder.

Berusaha menata perasaan, saya dan teman memilih balik kanan, sambil meracau kenapa Corgan seperti itu...Yah, manusiawi dong, kalau salah seorang fan berkeluh kesah, toh bukan berarti tak ada rasa bersyukur Smashing Pumpkins bisa nongol disini hahaha

but still, please Corgan!!! if you only know how fucked up we are with the scarcity of great alternative band concert held here....Seingat saya, konser rock alternative terbaik di negeri ini adalah ketika Suede, lalu Foo fighters, Sonic Youth dan Beastie Boys, sudah itu saja..dan ketika Smashing Pumpkins beraksi, maka lengkaplah dahaga hati kami. But thanks for coming here, hope one day, an encore, dont forget that when you put some action again here!

(photos: Lighting Seeds by my good pal, Mahdesi, Smashing Pumpkins from Tribunnews-Danny)








Senin, 04 Oktober 2010

The King On Writing





















...and everyone can have a self esteem to write on a blank paper. Serius, i'm not joking around, siapapun yang membaca buku berjudul On Writing yang ditulis oleh maestro novel fiksi menegangkan dengan bumbu horor, Stephen King, ini maka akan mendapat pencerahan bahwa menulis itu sungguh sangat menyenangkan, dan bisa dilakukan jika kita benar-benar serius dan percaya diri untuk menggoreskan pena/menekan tuts kompie.

Diterbitkan Qanita, salah satu imprint dari kantor saya, nih buku malah jarang banget terlihat di toko-toko buku. Entah kenapa yah, buku ini sebenarnya keren banget dan sangat menyenangkan untuk dibaca. Hentikan pretensi bakal dibosankan oleh aturan, norma, dan apapun itu tentang ilmu menulis sebuah kisah. Malah pengalaman hidup King sejak ia kecil, bujangan, sampai menikah, yang penuh kisah unik, kocak, hingga dramatis (nyaris mati ketabrak mobil), bikin para pembaca lebih terhanyut meresapi wejangan King tentang menulis.

Serunya, dari buku ini, gaya King dalam pandangannya tentang dunia tulis menulis pun sangat liberal (pas nggak yah haha). Ia menganggap bahwa penulis tidak bisa terpenjara oleh kekakuan gaya menulis. Beberapa pandangannya tersebut bisa dipertanggungjawabkan karena ia juga eks dosen sastra, eks pemred koran ilegal di kota kecilnya, dan penulis best seller belasan karyanya.












Beberapa nukilan dari buku ini sempat direview oleh mas Hernowo, editor senior Mizan, dengan menyebut buku ini bagai membaca sosok King yang unik dan tak terduga dalam novel-novelnya. Bahkan, opa Remy Silado dalam pengantar On Writing edisi Indonesia menyebutnya sebagai buku yang belum pernah ada dalam jagad raya buku di negeri ini.

Beberapa petuah menarik dari King untuk kita yang mau menulis, misalnya

“Engkau bisa mendekati aksi menulis dengan kegelisahan, kegembiraan, harapan, atau bahkan keputusasaan—perasaan bahwa kau tidak dapat sepenuhnya menuangkan ke atas kertas apa yang ada di dalam pikiran dan hatimu,” tulis King.

“Engkau bisa sampai pada aksi itu dengan tinju terkepal,” lanjut King, “dan mata menyipit, siap untuk menendang pantat dan mengumpat-umpat. Engkau bisa sampai ke sana sebab kau ingin seorang gadis menikahimu atau karena kau ingin mengubah dunia.”

“Ke sanalah dengan cara apa pun TETAPI JANGAN SEENAKNYA. Biar kutekankan lagi: KAU TIDAK BOLEH SEENAKNYA MENDEKATI SELEMBAR HALAMAN KOSONG.


Keren kan? Kisah hidupnya yang penuh warna turut membantu siapapun yang membaca buku ini untuk bisa lebih memahami dunia tulis menulis dari kacamata yang berbeda. Sekali lagi, ia terus mengingatkan siapapun yang hendak menulis harus terlebih dahulu memiliki nyali dan hati bersih alias memaknai dunia menulis sebagai sesuatu yang privat, pribadi, dan juga tulus.

”Menulis bukanlah untuk mencari uang, menjadi terkenal, mendapat teman kencan, menjadi mapan, atau memperoleh banyak teman. Pada akhirnya, menulis adalah untuk memperkaya hidup orang-orang yang akan membaca karyamu dan meperkaya hidupmu sendiri pula. Tujuannya adalah bangkit, sembuh, dan mengatasi keadaan. Menjadi bahagia, oke? Menjadi bahagia.”

So, i guess, buku ini bisa menjadi pilihan terbaik bagi mereka yang ingin mencoba tantangan menulis apapun itu, dimanapun, dan kapanpun! Jika sulit mencarinya, just contact me, okay, kabarnya masih ada beberapa kopi On Writing di gudang penyimpanan hehehe

the cemented minds - akhirnya sebuah 'hadis' untuk menulis yang layak ditiru dan diteladani!
star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos

Senin, 06 September 2010

I Fell in Love With Gemma Hayes



















Gemma Hayes..

Nama itu bener-bener bikin saya tak keruan akhir-akhir ini. Gara-gara melihat set akustiknya dengan Kevin Shields di Youtube, membawakan lagu Whiskey Girl, saya semakin penasaran untuk mengecek lagu-lagu lainnya. Dan akhirnya saya jatuh cinta pada pandangan pertama..she's so heavenly gorgeous lady, playing guitar pula!

Singer/songwriter asal Ballyporeen, Tipperary, Irlandia ini betul-betul tipikal cewek idaman saya sejak dulu ha ha ha. Bisa main gitar, selera musik keren, cute n gorgeous, kasual, jeans, dan memakai sepatu kets! Lihat saja dari penampilannya, plus lagu-lagu yang diciptakannya, sangat-sangat keren dan passionated.

Beberapa hari lalu, saya bahkan baru saja memesan cdnya bertitel the Hollow of Morning via ebay. Semakin cinta ketika di album ini ia berkolaborasi dengan Kevin Shields sebagai pengisi gitar di seluruh lagu di album ini. Suaranya yang sedikit serak halus, ehmm..bikin hangat saja suasana hati ini ha ha ha

Gemma bener-bener menguasai playlist di komputer saya. Kini saya menanti Gemma hadir menemani tidur saya, dan membuai mimpi dengan senandung syahdunya.. Haihh..i'm waiting you!

If you want to hear some of her songs, check the videos on this blog yah :) 'Home' and 'Out of Our Hands'

Jumat, 27 Agustus 2010

Lost in Bali: Along Ngurah Rai Till Karangasem (Part 1)




The fantastic of Being lost in Bali, oh, what a line.
Tersesat di sebuah dunia begitu asing dan mistis, tanpa peta untuk memandu arah, apalagi sebuah handset canggih beraplikasi GPS, hanya bermodalkan henpon murah. Itulah yang saya alami selama dua hari itu, Jumat dan Sabtu kemarin, saat menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di pulau Dewata, Bali, gosh... a heavenly island!

Ohya, satu hal paling saya sesali adalah tak membawa kameraaaaa....arggghhhhh!!! maka, berbekal sedikit poto dari beberapa orang di Bali yang saya minta pinjem kameranya, demi membuktikan kalau 'I WAS THERE', mungkin ceceritaan blog ini bisa menghibur, dan kalau berpikir saya melakukan kebohongan publik, mari saya ladeni argumen-argumen anda hahaha

So, tradisi dan budaya yang ada di Bali, melengkapi keindahan alamnya. Satu hal yang sulit ditemui di tempat manapun di dunia. Bali itu memiliki keindahan yang begitu misterius dan mistis, setidaknya itu yang saya rasakan selama disana. Pulau yang cantik.

Pada tanggal 18 Juni 2010, bermisikan sebuah tugas rahasia dari kantor untuk mengejar sebuah tema buku yang menjanjikan, saya akhirnya terbang via burung besi Air Asia dari bandara Soekarno Hatta, tepat jam 06.30 pagi. Serunya, meski menurut saya mungkin hanya saya yang kelewat riang, ini akan menjadi perjalanan via udara pertama untuk saya ha-ha-ha.

Sesampai di bandara, saya menanti sejak jam 5 pagi sambil menikmati terminal 3 yang begitu megah dan modern, mirip di bandara-bandara di luar negeri yang nongol di film-film barat.

Si burung besi pun memanggil para penumpang setelah meminum avtur, tepat pukul 6.30. Senyum tak henti-hentinya karena tak sabar menaikinya, penasaran seperti apa rasanya. Norak yah ha-ha-ha. Well, who care, pokoknya enjoy the flight dan here i come, Bali! (ternyata enak euy di kapal terbang :P hi-hi-hi)

Selama satu jam empat puluh menit perjalanan, akhirnya si burung besi melandaskan ketiga rodanya di aspal Ngurah Rai, di pagi yang cerah indah. Sesekali menjelang pendaratan saya bisa melihat barisan tipis gelombang buih kecil ombak yang menghampiri pepantaian di sekitar bandara. Betul-betul pemandangan yang cantik sekali. Lautnya indah sekali. Ini bakal menjadi perjalanan yang seru.

Turun dari pesawat, senyum di wajah kembali tersungging, sambil bergumam kecil, Subhanallah, i'm in Bali! Saya melangkahkan kaki ke bandara internasional Ngurah Rai yang mungil untuk sebuah pulau wisata terbaik di Asia Pasifik menurut DestinAsian Readers' Choice Awards 2009, beating Hawaii? Cool.

Di kantin bandara, saya buka netbook cek pesan kantor dan melapor ke atasan bahwa saya sehat wal afiat tanpa satu cela apapun selama di perjalanan. Alhamdulilah. Waktu beranjak jam 9.30, saya berpikir cara ke wilayah Karangasem. Namun minim informasi, bikin saya ketar-ketir, saya kebingungan harus kemana.


But thank God, penulis yang ingin saya temui di Bali ternyata menelepon saya dan mengajak bertemu di kantor berita Antara. Dan akhirnya teringat pula salah satu teman saya dari Jakarta yang kini menetap di Bali karena membuka usaha tattoo di Seminyak. Sedikit lega lah.

Penulis Bali itu menyarankan saya untuk naik taksi Blue Bird, demi menghindari taksi ber-argo nembak. Sepanjang jalan menuju Antara, saya melihat wajah suasana kota pariwisata Bali sepanjang Kuta hingga Denpasar. Kental sekali dengan tradisi religiusnya, terlihat dari arsitektur dan setiap tempat persembahan di tiap rumah dan kantor.

Sampai di Antara, berbincang sana-sini dengan mbak Vivi, si penulis Bali dan suaminya, orang Antara Bali. Disana saya mencicipi sop buah a la Bali, mirip sop buah seperti biasanya di Jakarta. Hanya saja display buah-buahannya seabreg, satu buah pepaya, nanas, melon, semangka ukuran besar.

Berbagi cerita tentang misi rahasia saya, mbak Vivi membantu mencarikan tukang ojek untuk mengantarkan saya ke Karangasem. Ketimbang sewa mobil, dengan naik motor akan lebih cepat sampai. Bayangan jarak antara Denpasar dan Karangasem dijelaskan kepada saya, pokoknya jauh dan memakan sekitar 2 jam lah. Hemm..tak apa lah, tak terlalu lama. Sekalian menikmati alam Bali selama perjalanan nanti menjadi bonus yang seru.

Sang tukang ojek, pak Wayan, telah hadir untuk mengantarkan saya ke tempat tujuan. Sepakat pada tarif PP, kami pun melaju ke Karangasem selepas shalat Jumat di perkampungan Jawa, dekat kantor Antara.

Dari Denpasar, motor Honda Supra Fit yang tampak kurang fit mengarah ke Sanur, dan kemudian ke arah kiri menuju bypass ke arah Karangasem. Sepanjang perjalanan cukup lancar, meski harus melintasi jalan aspal yang tak mulus karena beberapa ruas jalan masih dalam perbaikan besar-besaran. Namun pemandangan lautan diujung mata sudah bikin saya terpesona meski debu aspal menerpa wajah.














Marka jalan menunjukkan 66 km menuju Karangasem. Si Supra Fit pun terus melaju membawa saya melalui jalan raya yang cukup sepi dan seperti tak berujung. Hingga sampai saya melewati deretan dua bukit hijau dimana Kecamatan Karangasem bersembunyi.

Meliuk-liuk ruas jalan melewati perbukitan, mirip perjalanan ke Garut saja. Pantat pun mulai sedikit pegal. Namun tak ada kata berhenti sebelum sampai di tempat tujuan. Pemandangan kanan kiri dengan bukit hijau, sawah bersistem irigasi sengkedan, dan beberapa pusat sembayang yang unik memuaskan hati saya.

Kami melewati beberapa banjar, dan kelurahan dari Karangasem, seingat saya salah satunya Amlapura. Kanan kiri sawah dan hehijauan bukit, pura dan sebagainya. Sempat terkena macet setelah tiba-tiba dari sebuah gang berlarian ratusan warga mengusung sesajian menuju pura, dan oh..mereka sedang mengikuti upacara keagamaan.

Lumayan pegal luar dalam, akhirnya motor berjalan dan sampai ke tempat tujuan, yakni rumah gadis miskin Bali juara foto di Belanda, Ni Wayan yang ternyata oh ternyata jauhhhnyaaa...seperti dari pintu tol Pasteur ampe ke rest area di Cikampek.















Beruntung, saya masih bisa menikmati keindahan pantai Karangasem, debur ombak dan semilir laut selat antara Bali dan Lombok yang sejuk. Obrol sejenak dengan keluarga, segera saya melanjutkan perjalanan yang mulai menyiksa kembali ke Denpasar sebelum senja menjelang. Menembus kegelapan pesisir pantai timur Bali...dan proyek jalan bypass yang belum kelar.

Dan itu betul-betul melelahkan...hingga akhirnya saya terkulai di pasir putih pantai Kuta, di malam hari berbulan tak sempurna, bersama teman saya, Ipung Cuomo si pengusaha tattoo itu, mendengar debur ombak yang syahdu menghapus keletihan hati dan badan (tepatnya pantat). Bodohnya, momen tersebut lagi-lagi tak bisa diabadikan karena saya tak membawa kamera...darn.

(to be continued)