Selasa, 27 April 2010

Goodbye, my precious guitar..

Photobucket

Jika seorang penulis bersenjatakan pena, maka gitar adalah pena bagi sang gitaris. Keduanya melahirkan sebuah ekspresi yang sama dari keliaran benak mereka, namun dalam bentuk berbeda. Sang penulis menyulap goresan tinta menjadi rangkaian aksara penuh makna, sementara sang pendawai senar menciptakan resonansi nada dari tiap petikan yang bermakna pula. Keduanya sama-sama ekspresif, namun beda wujud.

Ya ya ya berat bener paragraf diatas meski patut dipertanyakan kebenarannya hahaha selanjutnya sebebas saya sajalah. Dan tema kali ini ketika saya harus berpisah dengan gitar kesayangan saya, gitar listrik pertama, yang telah menemani hari-hari saya yang cenderung kurang ekspresif dan datar saja. Ahh..betapa indah delapan tahun saya bersama gitar listrik hollow body berwarna sunburst ini.

Sejak pertama membelinya, saya sudah ngebet banget ingin memiliki sebuah gitar listrik yang mirip gitar-gitarnya Noel Galagher dari Oasis. Pokoknya yang bergaya hollowbody dan classy. Ketika memilikinya betul-betul bikin percaya diri banget. Tak sabar memainkannya di atas panggung dan merasakan sensasinya seorang gitaris beneran.

Selain menemani hari-hari ngeband, gitar ini sebenarnya berjasa banget mengasah naluri saya untuk lebih sentimentil dengan segala hal. Khususnya masalah percintaan hahaha its true, everytime i fell or trashed in love, gitar ini membantu membenahi nalar dan emosi saya dengan wajar. Seperti sebuah obat hati yang tidak memaksa kita untuk menghapus total memori buruk itu, tetapi mengajarkan untuk mengendalikannya dengan tenang dan teduh.

Resepnya, create songs! Dan ketika lagu-lagu itu lahir dari benak kita, percayalah betapa polosnya perasaan kita saat mendengarkannya. Setiap nada galau atau teduh yang dipetik, saat remuk redam, atau nada-nada riang dan cozy ketika melayang tinggi ke langit ketujuh. Seperti para penulis yang di setiap goresan tinta tentu digerakkan oleh benaknya, pasti menuangkannya sebuah tulisan yang memiliki jejak-jejak unik dari perasaannya.

Same as the writers, create writings. Seperti ketika saya begitu menikmati betapa asyiknya menulis cerpen pendek. Segala angin ribut paling kejam sekalipun di hati siapapun bisa tertampung dalam sebuah tulisan. Dan, segalanya justru membaik dan berhasil membuat diri kita untuk move on dari kekisruhan tersebut.

Itulah yang juga terjadi dengan gitar saya, ia telah menjadi wahana keluh kesah yang lebih sensitif ketika saya ingin berbagi. Saya bisa memetik sebuah kunci riff favorit saya, dan ia membiarkan saya untuk menjelajahi setiap fret sesukan hati. Hingga semuanya tersapu oleh deras resonansi nada dari keenam senar yang kerap karatan jika jarang dimainkan.

Dan gitar ini telah berpisah dari hidup saya. Jujur sedikit menyesal untuk melakukannya, namun satu hal yang memang terpaksa membuat saya untuk melepaskannya. But I had no choice. Ia kini telah berpindahtangan dengan seseorang yang pasti dengan impresi yang berbeda terhadap sebuah gitar.

Selamat tinggal gitar listrikku, thank you for the 8 years memories...i miss you already.

2 komentar:

  1. heee? serius? terus nggak bisa band2an lagi dong?

    BalasHapus
  2. hehe yaa masih lah, minjem dulu saat ini hahaha efek tetep, gitar minjem :P

    BalasHapus