“aku benci hujan”, gumam Riak setiap kali mendung awan gelap menyambangi halaman rumahnya. Ia tinggal di sebuah kampung pengumpul teh di sebuah perbukitan. “kenapa harus hujan..” Riak begitu alergi ketika bulir-bulir air seperti menimpuki dirinya dari langit. Baginya itu seperti sebuah ejekan, memaksanya harus meringkuk didalam kamarnya yang sempit. Sementara bocah-bocah sebayanya malah girang dipermainkan jutaan rintik hujan hingga belepotan lumpur.
“Riak, lihat bapak bawa sesuatu” Ayahnya seorang pengumpul daun teh di perbukitan, basah kuyup oleh hujan lebat di luar, membawa kantong kresek plastik hitam. Jarang-jarang ayahnya membawa sesuatu ke dalam rumah berdinding bambu itu.
Tak ada harum, berarti bukan makanan dari warteg atau pasar. tapi bentuknya kok persegi dan ketika dibukanya, sebuah buku berjudul, ‘air hujan’. “bapak dikasih anak pemilik perkebunan, dia membagikan buku-buku tak terpakai milik anaknya kepada para orang tua disini”
Berusaha sopan, Riak memasang wajah senyum tanda terima kasih. Hatinya sedikit dongkol, kenapa harus judulnya air hujan. Tak adakah judul lain? Ini seperti dirinya dipermainkan oleh air hujan.
Sementara itu hujan yang semakin deras menghajar kampungnya. Buku itu hanya diletakkan dimeja kamarnya.
“Riak, baca aku” Yang disapa terkaget bingung bukan main.
“Ini aku” “Siapa” Buku air hujan dari bapakmu” “buat apa aku buka kamu?”
“Ini masalah hidup dan mati!” Riak langsung berucap istighfar dan ayat kursi, berpikir ada setan di kamarnya.
“kau pikir aku setan? Hentikan jampi-jampi itu, ini betul-betul urusan hidup dan mati”
Riak tertegun, berusaha menata kembali kewarasannya. Hidup dan mati?
Perlahan ia sentuh buku itu. “buka halaman 13!” Pada halaman itu tertulis kata seram, longsor akibat hujan deras. “sejam lagi kampungmu akan dilindas longsor, satu jam lagi, Riak”
“Kau bohong!” “Buat apa aku bohong, untuk bocah anti hujan pula. Ini hidup dan mati”
Kebingungan, Riak teringat lembaran koran lusuh di pos kampung yang mengangkat berita longsor di penggalian tambang pasir. Tewas 30 orang.
Di halaman 13 tertulis longsoran kerap terjadi di daerah perbukitan yang miskin pohon. Persis seperti perbukitan kebun teh yang menaungi rumah-rumah pekerja kebun teh. Sedikit curam, cantik bealaskan karpet hijau jika dilihat kejauhan dari tol padalarang.
Petir menyambar dan hujan makin keras menampar atap seng rumahnya. Ngeri dengan bayangan teruruk ton-tonan tanah, Riak berlari membangunkan ayah dan ibunya.
“Bapak, ibu! Bangun!! Longsor akan datang!”
Tak ada mereka berdua di kamar. Ia berpikir mereka pasti sedang berkumpul di balai kampung. Riak segera keluar rumah, namun langkahnya terhenti melihat air hujan deras. Alerginya terhadap hujan berbenturan dengan teriakan buku di kamarnya yang terus menyuruhnya untuk segera menyelamatkan seisi kampung.
“persetan, air hujan!” Riak melabrak tirai air hujan sejadi-jadinya menuju balai kampung. Sesampainya, ia berteriak keras. “Longsor akan datang! Selamatkan diri semua!”
Semua mata melongo memandangnya. Waktu tinggal tersisa 25 menit lagi. Riak pun menjelaskan bagaimana dirinya bisa tahu hal itu akan terjadi. Bodohnya, pada kalimat terakhir ia baru tersadar bahwa kabar peringatan datang dari sebuah buku, membuatnya menjadi tertawaan orang-orang.
“Pulanglah Riak, kau bercanda” teriak orang-orang serentak. Riak mencari dimana bapak ibunya, tetapi tak terlihat sama sekali.
Riak pun berlari ke arah teman-temannya yang tak kunjung selesai bermain hujan. “Kalian semua, bakal ada longsor, selamatkan diri”
“Dirimu tak suka kami bermain hujan, pulanglah”
Teracuhkan, Riak memilih mencari kedua orang tuanya. Langkah kakinya sedikit berat tebalnya tanah liat yang membecek. Dingin lebat hujan yang membungkus tubuh kecilnya membuat setiap sendinya mengigil luar biasa.
“Tinggal 10 menit lagi, Riak” suara buku di meja kamarnya terus menusuk-menusuk lubang telinganya, seakan menempel di wajahnya.
“Ini gila!”
“Aku hanyalah bocah, bukan Nuh…”
Siluet petir melesat melatari langit di atas perbukitan kampungnya. Langit gelap meretak, dan celahnya menghantarkan kilau perak menyilaukan kedua bola matanya yang lelah bertarung dengan deras hujan yang mengguyur kepalanya.
“Semenit lagi Riak,”
Riak menjerit sambil menutup telinganya. Sekuat tenaga ia jejaki tanah bukit yang licin berlabirin semak daun teh setinggi tubuhnya. Tak sulit baginya menembus labirin itu.
Sesampai di puncak, terkaget bukan main ketika kedua orang tuanya dan anak pemilik kebun teh telah berada di puncak. Mereka hanya berdiri membatu menatap kebingungan luar biasa dari bocah dua belas tahun ini.
“kami juga telah memperingati mereka, Riak,” ujar mereka serentak. Riak tertegun, dan hanya membisu ketika tanah dihadapannya amblas melindas apapun dibawahnya. Seperti membersihkan jelaga yang tampak dihadapannya. Termasuk buku lusuh yang telah menghujaninya dengan ketakutan luar biasa. [17maret10]
(cerpen pertama saya yang lahir berkat sebuah pelatihan melemaskan otot menulis di kantor :P maafkan jika tak memenuhi standar duniawi sastrawi karena inilah tulisan pertama saya seumur hidup! and yes, menulis itu menyenangkan juga)